Senin, 13 Juli 2009

ASUMSI DAN BATAS ILMU

Latar Belakang
Kemampuan menalar menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa, dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuannya itu. Dia mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Secara terus menerus dia selalu hidup dalam pilihan.
Manusia adalah satu-satunya mahluk yang mengembangkan pengetahuan ini sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya. Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dan memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidupnya, namun lebih dari pada itu. Manusia mengembangkan kebudayaan; memberi makna bagi kehidupan; manusia ‘memanusiakan” diri dalam hidupnya. Intinya adalah manusia di dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang membuat manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan oleh dua hal utama; a. Bahasa; manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut. b. Kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran. Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalar. Agar manusia dapat berpikir dan mampu menalar, tentunya dibutuhkan ilmu pengetahuan.



ASUMSI DAN BATAS ILMU


A. Asumsi
Salah satu permasalah di dalam dunia filsafat yang menjadi perenungan para filsuf adalah masalah gejala alam. Mereka menduga-duga apakah gejala dalam alam ini tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam yang bersifat universal, ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan pilihan bebas, ataukah keumuman itu memang ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan probabilistik? Ketiga masalah ini yakni determinisme, pilihan bebas dan probabilistik merupakan permasalahan filasafati yang rumit namun menarik. Tanpa mengenal ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah yang merupakan kompromi, akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan baik.
Jadi, marilah kita asumsikan saja bahwa hukum yang mengatur berbagai kejadian itu memang ada, sebab tanpa asumsi ini maka semua pembicaraan akan sia-sia. Hukum disini diartikan sebagai suatu aturan main atau pola kejadian yang diikuti oleh sebagian besar peserta, gejalanya berulangkali dapat diamati yang tiap kali memberikan hasil yang sama, yang dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hukum seperti itu berlaku kapan saja dan dimana saja.
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu. Demikian juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang mentyatakan bahwa semua manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat kepada hokum alam yang tidak memberikan pilihan alternatif. Untuk meletakkan ilmu dalam perspektif filsafat ini marilah kita bertanya kepada diri sendiri apakah yang sebenarnya yang ingin dipelajari ilmu. Apakah ilmu ingin mempelajari hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia seperti yang dicoba dijangkau dalam ilmu-ilmu sosial, ataukah cukup yang berlaku bagi sebagian besar dari mereka ? Atau bahkan mungkin kita tidak mempelajari hal-hal yang berlaku umum melainkan cukup mengenai tiap individu belaka? Konsekuensi dari pilihan adalah jelas, sebab sekiranya kita memilih hukum dari kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme.
Sekiranya kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka kita berpaling kepada paham pilihan bebas. Sedangkan posisi tengah yang terletak di antara keduanya mengantarkan kita kepada paham yang bersifat probabilistik. Sebelum kita menentukan pilihan marilah kita merenung sejenak dan berfilsafat. Sekiranya ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realitas untuk dicapai ilmu? Sekiranya Ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realistis untuk dicapai ilmu? Mungkin kalau sasaran ini yang dibidik ilmu maka khasanah pengetahuan ilmiah hanya terdiri dari beberapa gelintir pernyataan yang bersifat universal saja. Demikian juga, sekiranya sifat universal semacam ini disyaratkan ilmu bagaimana kita dapat memenuhinya, disebabkan kemampuan manusia yang tidak mungkin mengalami semua kejadian. Namun para ilmuwan memberi suatu kompromi, artinya ilmu merupakan pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan kehidupan praktis sehari-hari, dan tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dalam kehidupan ini. Walaupun demikian sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi, sebab pengetahuan yang bersifat personal dan individual seperti upaya seni, tidaklah bersifat praktis. Jadi diantara kutub determinisme dan pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistik.

B. Beberapa Asumsi dalam Ilmu
Ilmu yang paling termasuk paling maju dibandingkan dengan ilmu lain adalah fisika. Fisika merupakan ilmu teoritis yang dibangun di atas sistem penalaran deduktif yang meyakinkan serta pembuaktian induktif yang mengesankan. Namun sering dilupakan orang bahwa fisika pun belum merupakan suatu kesatuan konsep yang utuh. Artinya fisika belum merupakan pengetahuan ilmiah yang tersusun secara semantik, sistematik, konsisten dan analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan ilmiah yang disepakati bersama. Di mana terdapat celah-celah perbedaan dalam fisika? Perbedaannya justru terletak dalam fondasi dimana dibangun teori ilmiah diatasnya yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya. Begitu juga sebaliknya dengan ilmu-ilmu lain yang juga termasuk ilmu-ilmu sosial.
Kemudian pertanyaan yang muncul dari pernyataan diatas adalah apakah kita perlu membuat kotak-kotak dan pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit? Jawabannya adalah sederhana sekali; sekiranya ilmu ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman manusia, maka pembatasan ini adalah perlu. Suatu permasalahan kehidupan manusia seperti membangun pemukiman Jabotabek, tidak bisa dianalisis secara cermat dan seksama oleh hanya satu disiplin ilmu saja. Masalah yang rumit ini, seperti juga rumitnya kehidupan yang dihadapi manusia, harus dilihat sepotong demi sepotong dan selangkah demi selangkah. Berbagai displin keilmuan, dengan asumsinya masing-masing tentang manusia mencoba mendekati permasalahan tersebut. Ilmu-ilmu ini bersfat otonom dalam bidang pengkajiannya masing-masing dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan multidispliner. (Jadi bukan “fusi” dengan penggabungan asumsi yang kacau balau).
Dalam mengembangkan asumsi ini maka harus diperhatikan beberapa hal:
1. Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian displin keilmuan. Asumsi ini harus oprasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis.
2. Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya ‘bukan’ bagaimana keadaan yang seharusnya.”

Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasari telaah moral Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang digunakan.
Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas. Sesuatu yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat. Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada ruginya, sebab sekiranya kemudian ternyata asumsinya adalah cocok maka kita tinggal memberikan informasi, sedangkan jika ternyata mempunyai asumsi yang berbeda maka dapat diusahakan pemecahannya.

C. Batas-batas Penjelajahan Ilmu
Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan meyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik obyek ontologi ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab dari semua pertanyaan itu adalah sangat sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempelajari masalah surga dan neraka dan juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya manusia, sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia.
Mengapa ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam pengalaman kita? Jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita melakukan suatu kontradiksi yang menghilangkan kesahihan metode ilmiah? Kalau begitu maka sempit sekali batas jelajah ilmu, kata seorang, Cuma sepotong dari sekian permasalahan kehidupan. Memang demikian, jawab filsuf ilmu, bahkan dalam batas pengalaman manusiapun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek semua berpaling kepada pengkajian estetik.
Ruang penjelajahan keilmuan kemudian kita ‘kapling-kapling’ dalam berbagai displin keilmuan. Kapling ini makin lama makin sempit sesuai dengan perkembangan kuatitatif displin keilmuan. Kalau pada fase permualaan hanya terdapat ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial maka sekarang ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan.
1. Ruang Lingkup Filsafat Ilmu
Filsafat Ilmu sampai tahun sembilan puluhan telah berkembang begitu pesat sehingga menjadi suatu bidang pengetahuan yang amat luas dan begitu mendalam. Lingkupan filsafat ilmu berkembang begitu pesat sehingga menjadi suatu bidang pengetahuan yang amat luas dan mendalam. Lingkupan filsafat ilmu sebagaimana telah dibahas oleh para filsuf dewasa ini dapat dikemukakan secara ringkas seperti di bawah ini.
a. Peter Angeles
Menurut filsuf ini, filsafat ilmu mempunyai empat bidang konsentrasi utama:
• Telaah mengenai berbagai konsep, praanggapan, dan metode Ilmu, berikut analisis, perluasan dan
• penyusunannya untuk memperoleh pengetahuan yang lebih ajeg dan cermat.
• Telaah dan pembenaran mengenai proses penalaran dalam ilmu berikut struktur perlambangnya.
• Telaah mengenai kaitan diantara berbagai ilmu.
• Telaah mengenai akibat-akibat pengetahuan ilmiah bagi hal-hal yang berkaitan dengan pencerapan dan pemahaman manusia terhadap realitas, hubungan logika dan matematika dengan realitas, entitas teoritis, sumber dan keabsahan pengetahuan, serta sifat dasar kemanusiaan.

b. A. Cornelius Benjamin
Filsuf ini membagi pokok soal filsafat ilmu dalam tiga bidang:
• Telaah mengenai metode ilmu, lambing ilmiah, dan struktur logis dari sistem perlambang ilmiah. Telaah
• ini banyak menyangkut logika dan teori pengetahuan, dan teori umum tentang tanda.
• Penjelasan mengenai konsep dasar, praanggapan, dan pangkal pendirian ilmu, berikut landasan-landasan dasar empiris, rasional, atau pragmatis yang menjadi tempat tumpuannya. Segi ini dalam banyak hal berkaitan dengan metafisika, karena mencakup telaah terhadap berbagai keyakinan mengenai dunia kenyataan, keseberagaman alam, dan rasionalitas dari proses ilmiah.
• Aneka telaah mengenai saling kait diantara berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu teori alam semesta seperti misalnya idealisme, materialisme, monisme dan pluralisme.

c. Arthur Danto
Filsuf ini menyatakan, “ Lingkupan filsafat ilmu cukup luas mencakup pada kutub yang satu, yaitu, persoalan-persoalan konsep yang demikian erat bertalaian dengan ilmu itu sendiri, sehingga pemecahannya dapat seketika dipandang sebagai suatu sumbangan kepada ilmu daripada kepada filsafat, dan pada kutub yang lain persoalan-persoalan begitu umum dengan suatu pertalian filasafati sehingga pemecahannya akan sebanyak merupakan suatu sumbangan kepada metafisika atau epistimologi seperti kepada filsafat ilmu yang sesungguhnya. Begitu pula, rentangan masalah-masalah yang diselidiki oleh filsuf-filsuf ilmu dapat demikian sempit sehingga menyangkut keterangan tentang sesuatu konsep tunggal yang dianggap penting dalam suatu cabang ilmu tunggal, dan begitu umum sehingga bersangkutan dengan ciri-ciri struktural yang tetap bagi semua cabang ilmu yang diperlakukan sebagai suatu himpunan.

d. Edward Madden
Filsuf ini berpendapat bahwa apapun lingkup filsafat umum, tiga bidang tentu merupakan bahan perbincangannya yaitu:
• Probabilitas
• Induksi
• Hipotesis

2. Perkembangan Historis dari filsafat ilmu
o Masa-masa purba dan abad pertengahan: pandangan-pandangan yang silih ganti berbeda dari aliran-aliran kaum Stoic dan Epicorus serta penganut-penganut Plato dan Aristoteles.
o Abad XVII: perbincangan mengenai metodologi ilmiah; hampiran induktif dari Bacon dan hampiran Deduktif dari Descartes.
o Abad XVIII: Kaum empiris, rasionalis, dan tafsiran penganut Kant mengenai fisika Newton.
o Sejak awal abad XIX samapai Perang Dunia I: pengaruh dari keyakinan Kant dalam rasionalitas khas perpaduan klasik antara Euclid dan Newton
o Perbincangan abad XX: tanggapan terhadap relativitas, mekanika kuantum, dan perubahan-perubahan mendalam lainnya dalam ilmu-ilmu kealaman; Positivisme Logis lawan Neo-Kantianisme


Kesimpulan
Salah satu permasalah didalam dunia filsafat yang menjadi perenungan para filsuf adalah masalah gejala alam. Mereka menduga-duga apakah gejala dalam alam ini tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam yang bersifat universal, ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan pilihan bebas, ataukah keumuman itu memang ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan probabilistik? Ketiga masalah ini yakni determinisme, pilihan bebas dan probabilistik merupakan permasalahan filasafati yang rumit namun menarik. Tanpa mengenal ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah yang merupakan kompromi, akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan baik.
Dalam mengembangkan asumsi harus diperhatikan beberapa hal:
1. Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian displin keilmuan. Asumsi ini harus oprasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis.
2. Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya ‘bukan’ bagaimana keadaan yang seharusnya.”
Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempelajari masalah surga dan neraka dan juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya manusia, sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia.



DAFTAR PUSTAKA

Anton Bakker, DR. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta : Kanisius.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Surajiyo. Drs. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia; Suatu Pengantar. Jakarta : Bumi Aksara.
The Liang Gie, Suhartoyo. 1980. Pengantar Logika Modern Jilid I. Yogyakarta : Karya Kencana

Kamis, 09 Juli 2009

Guru Profesional dalam Kegelisahan Pendidikan

Guru Profesional dalam Kegelisahan Pendidikan

By : Najmi Syaifi


Membicarakan pendidikan di negara Indonesia ibarat bermain "petak umpet". Bagaimana tidak? Reformasi dan transformasi pendidikan yang diharapkan selalu menjadi sebuah lingkaran, tanpa ada titik temu. Ironisnya, ketika subtansi pendidikan berada dalam titik ketergantungan yang tinggi, para pengelola kebijakan pendidikan menjadi lupa akan harapan dan tujuan sebuah program yang dirumuskan. Mereka memilih lari dari tanggung jawab daripada berada dalam ketergantungan, dan membuat kebijakan baru yang lebih spektakuler agar orang menjadi lupa dan terkonsentrasi terhadap kebijakan barunya.

Mirip "puisi tak terkuburkan" Garin Nugroho, dunia pendidikan kita telah melakonkan kepedihan yang hampir tak tersuarakan, akan tetapi desis bisikan kepedihan ini harus berbunyi juga. Selalu ada yang menggelitik ketika mencoba menarik benang merah sebuah kata "guru". Dalam filsafat Jawa, guru lebih dikenal dengan sosok digugu dan ditiru. Di mata masyarakat guru dipandang sebagai figur yang "serba mumpuni". Apalagi di mata siswa, guru dipandang sebagai orang yang selalu dihormati dan perkataannya dianggap paling benar.

Mutu Pendidikan:

Rendahnya mutu pendidikan menjadi masalah utama yang perlu segera diantisipasi. Berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu yang cukup menggembirakan, namun Sebagian lainnya masih memprihatinkan. Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.

Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipilih semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi, mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.

Kedua, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, sehingga sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.

Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat pada umumnya selama ini lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). Berkaitan dengan akunfabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingan dengan pendidikan.

Critical Fenomena:

Saat ini, dunia pendidikan yang dihadapi guru adalah dunia global tanpa batas. Semua guru tahu dan mengerti tentang mengglobalnya dunia dengan segala pengaruh yang ditimbulkannya. Ironisnya, ada kecenderungan guru kurang tanggap terhadap berbagai perubahan. Guru hanya mencukupkan dirinya untuk tahu tapi enggan untuk menelaah secara mendalam ketahuannya.

Ada guru yang sinis terhadap inovasi tapi suka menganggukkan kepala tanda setuju tanoa mengkaji secara mendalam makna anggukkan kepala tersebut. Demikian juga, guru lebih senang "nggrundel" saat datang sebuah perubahan tanpa mencerna makna perubahan tersebut.

Ada guru yang lebih suka menggunakan LKS (baca: Lembar Kesengsaraan Siswa) tanpa melalui proses pembelajaran yang bermakna. Dengan LKS, materi pelajaran bisa diselesaikan dalam sekejap.

Ada guru yang lebih senang menggunakan "ancaman" untuk mengingatkan siswa daripada menerapkan teknik-teknik profesionalnya saat dididik jadi guru.

Ada guru yang lebih bangga menjadi satu-satunya sumber belajar tanpa berpikir perlunya berinteraksi dengan "makhluk" lain di luar dirinya. Menjadi pewarta materi dengan siswa yang duduk tenang tanpa perlawanan, sering menjadi kebanggaannya. Padahal keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran merupakan conditio sine qua non.

Ada guru yang lebih senang menyimpan alat peraga secara rapi daripada memanfaatkan alat tersebut untuk kepentingan proses pembelajaran. Padahal guru sudah mempelajari teori Piaget saat sekolah guru bahwa menurut psikologi kognitif anak-anak Sekolah Dasar berada pada tahap operational konkret. Pada tahapan ini, anak mulai mampu mengatasi masalah yang bersifat konkret, belum mampu mengatasi masalah yang bersifat abstrak.

Ada guru yang lebih senang melakukan manipulasi data khususnya dalam pengerjaan nilai. Dalam konteks ini, konon guru tidak perlu dilatih karena sudah memiliki keterampilan "memanipulasi" yang diperoleh dari pengamatan turun-temurun. Ada guru yang lebih menggunakan sesuatu produk pembelajaran bersifat "instan" daripada berlatih mendesain sendiri sebagai tanda aktualisasi kompetensi guru

Ada guru yang tidak mau belajar membuat karya ilmiah dan memilih golongannya mentok di IVA sehingga merasa "bebas administrasi". Ada guru yang menggunakan siswanya sebagai objek "les privat" dan memberikan perhatian khusus bagi siswa yang mengikuti les privatnya. Ada guru lainnya yang dapat dikaji secara mendalam, yang muaranya pada kurangnya guru peduli terhadap pendidikan dalam konteks mikro (pembelajaran) dan konteks makro (pendidikan anak negeri).

Namun, di antara yang kurang peduli terhadap pendidikan setidaknya masih banyak guru yang peduli terhadap pendidikan walaupun kapasitasnya belum optimal.

Guru Bukan Pawang:

Guru bukan pawang, yang harus (dipaksa) bekerja dalam hitungan hari dan harus berhasil. Guru adalah "koki". Ia adalah peramu dan pendesain proses pembelajaran. Mana mungkin, guru harus melaksanakan KTSP, sementara racikan dan olahannya tempo hari (baca: KBK) belum memberikan hasil yang maksimal dan belum dinikmati stakeholders pendidikan?

Guru bukan robot, yang bisa diprogram untuk bergerak ke sana kemari sesuai dengan kehendak pemegang remote control. Guru adalah sosok yang dinamis. Guru bukan "pion", tapi "ster" dalam permainan catur yang bebas bergerak ke semua lini.

Persoalannya adalah guru merasa enjoy dijadikan robot, pion, pawang, dan terlibat dalam "terorisme" pendidikan. Dalam konteks mikro, guru ada kalanya terlibat dalam kegiatan terorisme pendidikan, seperti suka mengancam siswa, guru LKS, guru "MP", guru memaksa siswa membeli buku, manipulasi data, tak paham kurikulum, sinis inovasi, bersikap sendhika dhawuh untuk hal-hal yang sebenarnya perlu dikaji lebih mendalam, memilih hal-hal yang instant dalam pembelajaran, dan sejenisnya.

Padahal, Fullan & Stiegerbauer (1991:33) dalam "The New Meaning of Educational Change" mencatat bahwa setiap tahun guru berurusan dengan sekitar 200.000 jenis urusan dengan karakteristik yang berbeda dan itu merupakan sumber stres bagi mereka. Mungkin tak aneh bila dilaporkan banyak guru mengalami stres dan jenuh (burnout).

Guru perlu mengajari anak agar memiliki keberanian. Eko Prasetyo (2006:193) mengatakan "Guru ajari anak kami beberanian. Jangan kau jadikan anak-anak kami menjadi seorang penakut. Takut terhadap penderitaan, takur menetang penindasan, dan takut berbuat kebenaran. Jangan kau jadikan muridmu sosok yang kerdil dalam pemikiran. Kemampuannya hanya meniru, menjiplak, dan menyontek apa yang dilakukan di luar sana".

Sertifikasi Guru:

Pasca pelaksanaan sertifikasi guru yang sudah dilaksakan beberapa tahap menimbulkan kegembiraan dan kegelisahan yang mendalam bagi guru. Kegembiraan jelas terpampang di wajah guru yang dinyatakan lolos sertifikasi lantaran "iming-iming" satu kali gaji pokok di depan mata. Kegelisahan dirasakan oleh guru-guru yang belum dinyatakan lolos oleh asesor. Ada yang geram lantaran menurut penilaian guru yang tidak lolos, teman guru yang tidak pernah aktif dalam kegiatan tapi bisa lolos sertifikasi. Ada pula yang menyadari guru yang tidak lolos tersebut karena tidak sungguh-sungguh dalam menyiapkan berkas portofolio.

Trianto dan Titik Triwulan Tutik (2007:2) mengelompokkan guru menjadi 3 (tiga) kategori yakni:

(1) mereka yang tidak ambil pusing dengan adanya sertifikasi,
(2) guru yang sangat mendambakan sertifikasi, dan
(3) mereka yang pesimis dan tidak terlalu percaya dengan iming-iming tunjangan profesi.

Banyak cerita menarik ketika sertifikasi mulai digulirkan oleh "negeri" pendidikan kita. Ada guru yang merasa senang ketika terdata dalam sertifikasi, ada guru yang bingung saat terdata, dan ada juga guru yang masa bodoh terhadap aktivitas tersebut. Bahkan ada guru yang kecewa lantaran namanya tidak termasuk dalam daftar guru yang tersertifikasi. Ada juga guru yang sakit (bahkan diopname) saat kelelahan mengumpulkan berkas.

Ada juga guru yang pesimis terhadap proses sertifikasi (paling-paling pemerintah ingkar janji). Sekadar mengingatkan saja, "uang lauk-pauk" yang konon tidak seberapa itu, sampai detik ini masih "digantung" (bagaimana dengan dana untuk sertifikasi?).

Biro jasa sertifikasi pun seperti "jamur" di musim penghujan. Hampir di setiap sudut Kecamatan muncul biro jasa. Ada yang menyiapkan berbagai penelitian tindakan kelas "sulapan", piagam diklat "sulapan", sampai pada kejuaraan "sulapan" tempo dulu.

Cerita lain dari sudut pandang asesor, pada awal mereka (baca:asesor) bertugas menilai berkas portofolio, belum ada keseragaman persepsi dalam penilaian. Ada asesor yang "kikrik" dalam menilai, ada juga asesor yang "baik hati" (asal ada cap-nya dinilai), dan ada juga asesor yang "bertengkar".

Persoalannya adalah benarkah pemberian sertifikat pendidikan bagi guru dapat meningkatkan kinerja? Mungkinkan pemerintah mampu mengeluarkan anggaran yang "tidak masuk akal" itu secara berkelanjutan? Jangan-jangan, program sertifikasi akan bernasib sama dengan program-program inovasi yang tak berbekas sebelumnya?

Cara Pandang Profesi Guru:

Di tengah-tengah maraknya praktik "terorisme" pendidikan, ada baiknya guru memaknai profesi yang digelutinya secara holistik. Menurut Robert Kiyosaki (2001) cara pandang terhadap profesi guru menyebabkan terbentuknya kuadran-kuadran, sebagai berikut:

Kuadran I: Guru Pekerja. Guru yang punya pekerjaan dan mengedepankan To Have. Kita disebut guru pekerja, bila kita termasuk guru yang menyukai kemapanan, tidak ada keinginan untuk berubah. Kita senang dengan pekerjaan rutinitas yang menjadi tanggung jawab kita. Perilaku kita tampak oleh mengajar dengan cara yang sama tentang hal yang sama kepada orang yang berbeda. Pada kudaran ini kita memiliki paradigma to have. Kita adalah orang yang berada dalam sistem yang sudah mapan. Sumber penghasilan kita adalah satu-satunya gaji/honor bulanan/mingguan ditambah dari proyek-proyek skala kecil dan rutin.

Kuadran II: Guru Profesional.Guru yang berkuasa atas pekerjaan dan mengedepankan To Have. Kita dikatakan guru profesional, bila kita termasuk guru yang menyukai tantangan dalam mengajar. Senang dengan pekerjaan yang mandiri, tidak rutin tapi memuaskan, senang berpindah tempat kerja dengan pekerjaan yang sama. Perilaku kita tampak oleh mengajar dengan cara yang sama tentang hal yang berbeda kepada orang yang berbeda. Pada kuadran ini kita mulai mengalami pergeseran pradigma tetapi masih pada konsep to have. Kita menjadi sistem bagi diri kita sendiri. Sumber penghasilan kita adalah sebagai profesional yang memiliki nilai (harga) setiap kali kita mengajar.

Kuadran III: Guru Pemilik. Guru yang punya keahlian dan visi kepemimpinan dan manajemen system, serta mengedepankan To Be. Kita dikatakan guru pemilik bila kita adalah guru yang memiliki keahlian (pemilik), tidak hanya terkait dengan pengajaran tetapi juga memiliki kemampuan mengendalikan sistem, sehingga pemilik menjadi bagian dari kelompok pengambil keputusan. Senang dengan peran sebagai investor dan atau pimpinan dengan tujuan mendapatkan penghasilan dari investasi/tugas tersebut. Kita adalah orang yang menjalankan sistem secara strategis, untuk mengendalikan diri dan orang lain bagi kemajuan lembaga. Pada kuadran ini kita mengalami pergeseran paradigma yang sangat jelas dari to have ke to be. Sumber penghasilan kita adalah dari keahlian dan sistem yang kita kendalikan.

Kuadran IV: Guru Perancang. Guru yang membuat dan mengendalikan system ekolah identik dengan dirinya serta mengedepankan To Be. ta dikatakan guru perancang, bila kita adalah guru yang berfungsi sebagai perancang masa depan pengajaran, bersifat inovatif, senang pada ide dan perubahan yang mengaktifkan pengajaran. Kita adalah orang yang kaya dengan ide/gagasan yang inovatif yang menjadikan kita orang yang sangat berarti. Kita menjadi perancang sistem bagi kemajuan diri dan masa depan orang lain. Pada kuadran ini menunjukan bahwa pergeseran paradigma kita sudah sepenuhnya ke kuadran to be. Sumber penghasilan kita adalah dari sistem dan gagasan yang diterapkan banyak orang. Ide dan gagasan bekerja untuk menghasilkan uang bagi kita.

Percik Pemikiran:

Pepatah mengatakan: "kegemilangan masa depan tergantung apa yang diperbuat hari ini". Secara implisit hal tersebut dapat dikonotasikan bahwa keberhasilan peningkatan mutu pendidikan di masa depan sangat tergantung pada stake holder pendidikan yang meliputi: pendidik, peserta didik, masyarakat, institusi, sarana dan prasarana, pengelolaan dan, dan sebagainya.

Memaksimalkan komponen-komponen stake holder dalam pendidikan bukanlah hal yang mudah. Hal ini karena keberadaan-keberadaan komponen tersebut saling melengkapi. Ibarat sebuah sistem komponen-komponen tersebut perlu dikembangkan secara integratif melalui pendekatan sistem.

Pendekatan sistem dapat digunakan sebagai suatu pendekatan dalam memecahkan permasalahan yang paling sederhana sampai pada tingkat permasalahan yang paling kompleks, khususnya dalam peningkatan mutu pendidikan. Persoalan-persoalan yang mengemuka dalam dunia pendidikan dan merupakan tantangan pendidik di masa datang harus diselesaikan secara sistemik, analitik, dan sistematik.

Sistemik dalam arti permasalahan pendidikan harus dilihat dari konteks keseluruhan. Analitik dalam pengertian permasalahan dalam dunia pendidikan perlu dianalisis sebab dan akibatnya dikaitkan dengan berbagai masalah yang ada, baik di dalam maupun di luar sistem. Sedangkan sistematik dalam arti cara kerja dalam penyelesaian permasalahan harus beraturan atau runtut. Hal ini dapat dilihat dari proses kegiatannya, yaitu perumusan masalah, penelitian, penilaian, penelaahan, pemeriksaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan.

Permasalahan yang mengemuka dalam dunia pendidikan memang sangat kompleks dan sporadis. Oleh karena itu, di masa datang seorang pendidik harus tanggap sasmita terhadap arus reformasi dan transformasi pendidikan.

Ada beberapa percik pemikiran sederhana dari penulis dan perlu diperhatikan pendidik, dalam mengantisipasi tantangan pendidikan di masa datang. Pertama, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi yang sedemikian cepat sudah barang tentu berdampak positif dan negatif bagi kehidupan manusia. Kenakalan remaja dan pengaruh narkoba merupakan tantangan utama dalam menumbuhkembangkan peserta didik agar menjadi generasi muda penerus perjuangan bangsa yang tatag tanggon, tinatah mendat, jinoro menter, yakni anak bangsa yang cerdas berbudaya dan memiliki jiwa dan pengabdian yang kuat. Dalam konteks ini, pendidik diharapkan memaksimalkan perannya sebagai "guru" dan menjadi suri teladan bagi peserta didiknya (Trimo, 2002).

Kedua, guru masa depan perlu memiliki wawasan jauh kedepan (visi) dan tahu tindakan apa yang harus dilakukan (misi) serta paham benar tentang cara yang akan ditempuh (strategi) (Suyanto, 2000).

Ketiga, guru masa depan perlu memiliki toleransi terhadap perbedaan pada setiap orang dan tidak mencari orang-orang yang mirip dengannya, akan tetapi sama sekali tidak toleran terhadap orang-orang yang meremehkan kualitas, prestasi, standar, dan nilai-nilai.

Keempat, guru masa depan perlu menggunakan "pendekatan sistem" sebagai dasar cara berpikir, cara mengelola, dan cara menganalisis kehidupan sekolah, yaitu berpikir secara benar dan utuh, berpikir secara runtut (tidak meloncat-loncat), berpikir secara holistik (tidak parsial), berpikir multi-inter-lintas disiplin (tidak parosial), berpikir entropis (apa yang diubah pada komponen tertentu akan berpengaruh terhadap komponen-komponen lainnya); berpikir "sebab-akibat" (ingat ciptaan-Nya selalu berpasang-pasangan); berpikir interdipendensi dan integrasi, berpikir eklektif (kuantitatif + kualitatif), dan berpikir sinkretisme.

Kelima, guru masa depan perlu memahami, menghayati, dan melaksanakan dimensi-dimensi tugas (apa), proses (bagaimana), lingkungan, dan keterampilan personal, yang dapat diuraikan sebagai berikut: (a) dimensi tugas terdiri dari: pengembangan kurikulum, manajemen personalia, manajemen kesiswaan, manajemen fasilitas, pengelolaan keuangan, hubungan sekolah-masyarakat, dsb;
(b) dimensi proses, meliputi pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, pengkoordinasian, pemotivasian, pemantauan dan pengevaluasian, dan pengelolaan proses belajar mengajar;
(c) dimensi lingkungan meliputi pengelolaan waktu, tempat, sumberdaya, dan kelompok kepentingan; dan
(d) dimensi keterampilan personal meliputi organisasi diri, hubungan antar manusia, pembawaan diri, pemecahan masalah, gaya bicara dan gaya menulis (Lipham and Norton, 1985).

Keenam, guru masa depan perlu memiliki pendidikan yang setingkat di atas standart minimal yang diharapkan pemerintah. Dalam dunia pendidikan dasar, tenaga pengajar setidaknya harus berbasis pendidikan S1, pendidikan menengah tenaga pengajarnya harus berbasis pendidikan S2, dan perguruan tinggi harus berbasis pendidikan S3. Secara sederhana peningkatan kualifikasi akademik itulah, yang harus dikembangkan oleh tenaga pendidik.

Ketujuh, guru masa depan perlu mempertegas kembali komitmen sebagai pendidik untuk tidak memaksakan pembelajaran yang hanya bermuatan kognitif saja, namun lebih aplikatif sejalan dengan konsep pembelajaran learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be (Tilaar, 2000). Paradigma ini mensyaratkan pendidik untuk all round dalam proses belajar-mengajar, sehingga mampu mensinergikan konsep life skill yang nantinya merupakan modal utama peserta didik untuk terjun ke masyakarat.

Kedelapan, guru masa depan tidak boleh gaptek (gagap teknologi) sehingga perlu belajar aplikasi teknologi (handpone, televisi, media massa, komputeri, internet, dll).

Kesembilan, guru masa depan perlu menjadi peneliti, penilai, dan penulis (Nugroho,2004:363). Profesi guru adalah proses intelektual yang siklus alaminya mencakupi membaca, mengajar, meneliti, dan menulis secara menerus. Bukan hanya memanfaatkan dan menerapkan hasil penelitian, namun mampu melakukan penelitian, penilaian, dan penulis sesuai dengan bidang tugasnya. Hal ini menjadi penting lantaran penelitian merupakan salah satu bentuk pengembangan profesi.

Kesepuluh, sudah saatnya pemerintah merumuskan sistem penggajian berbasis kinerja bukan masa kerja sehingga ada perbedaan yang cukup signifikan antara guru-guru yang mengajar secara profesional dan tidak profesional. Termasuk pengkajian "proyek sertifikasi", bila perlu "bubarkan sertifikasi" kalau hanya dijadikan "pelengkap penderita".

Epilog:

Menjadi guru yang peduli terhadap pendidikan mensyaratkan totalitas cipta, rasa, dan karsa sehingga mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliki secara optimal, baik kompetensi personal, professional, dan kemasyarakatan. Kompetensi tersebut mutlak dikembangkan dalam rangka memperkuat sifat konserfatif pada diri guru.

Setelah melewati kesombongan, tidak lagi tergoda berlebih oleh sebutan berhasil, kemudian dipanggil-panggil oleh keheningan, timbul pertanyaan kecil: apa yang bisa ditemukan dalam keheningan? Sebuah pertanyaan wajar di zaman seperti ini. Terutama ketika keraguan menjadi penghalang pemahaman di sana-sini. Tentu keraguan tidak selalu jelek, kerap manusia direm sebentar oleh keraguan, dinyalakan lampu kehati-hatian juga oleh keraguan (Gede Prama, 2006). Namun jujur harus diakui, bila masih ada keraguan itu tanda-tanda manusia masih jauh dari keheningan.

Senja tetap saja senja. Ia akan selalu memberi senyum pada guru-guru yang dengan ikhlas "sepi ing pamrih rame ing gawe", menyemaikan tunas-tunas muda harapan bangsa. Kehidupan ini ibarat jalan satu arah. Seberapa banyak pun perubahan rute yang Anda tempuh, tidak satu pun akan membawa Anda kembali. Begitu Anda mengetahui dan menerima hal itu, kehidupan akan tampak menjadi jauh lebih sederhana.

Pustaka Acuan:

Eko Prasetyo. 2006. Guru: Mendidik Itu Melawan!. Yogyakarta: Resist Book.

Fullan & Stiegerbauer.1991. The New Meaning of Educational Change. Boston: Houghton Mifflin Company.

Gede Prama. 2006. Meninggalkan Keangkuhan, Bersahabatkan Keberhasilan, Memasuki Keheningan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lipham, M. and Norton. 1985. The Principalship: Foundation and Function. New York: Harper & Row, Publisher, Inc.

Nugroho. 2004. Reposisi Peran Guru dalam Praksis Pembelajaran Modern. Bunga Rampai Indonesia Belajarlah. Editor: Agus Salim. Semarang: Gerbang Madani Indonesia.

Robert Kiyosaki. 2001. The Cashflow Quadrant, Panduan Ayah Kaya Menuju Kebebasan Finansial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Suyanto. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III. Yogyakarta: Adicita.

Tilaar, HAR. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Trianto dan Titik Triwulan Tutik. 2007. Sertifikasi Guru dan Upaya Peningkatan Kualifikasi, Kompetensi, dan Kesejahteraan. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Trimo. 2002. Peningkatan Mutu Pendidikan melalui Pengembangan Profesi. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Internasional IKIP PGRI Semarang 2-4 September 2002.